TNews, KOTA GORONTALO – Upaya Gubernur Gorontalo untuk meredam konflik pertambangan di Bone Bolango tentu mempertimbangkan asas keadilan dimana pemerintah memberikan porsi yang saling menguntungkan kepada pihak perusahaan pemegang IUP dan penambang lokal yang telah lama beraktivitas di lahan Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP).
Masalah aktivitas penambang lokal di dalam WIUP secara umum menjadi problematika yang selalu berulang, wabil khusus di Bone Bolango karena melibatkan konflik secara vis a vis antara hak subjek hukum PT Gorontalo Mineral (pemegang IUP) dan hak sosial-historis penambang lokal yang dinegasikan oleh hukum positif karena tidak memiliki izin.
Penambang lokal merasa punya hak atas wilayah itu, baik karena sejarah masa lalu yang telah menjadi mata pencaharian utama,sehingga mereka merasa telah lama menjalankan aktivitas penambangan sebelum izin keluar. Dilain pihak, Perusahaan atas dasar IUP perlu menegakan penertiban (legal compliance), karena aktivitas ilegal merugikan subjek hukum (pemegang IUP) yang berimplikasi langung pada operasional kinerja perusahaan. Ancaman pidana kepada penambang tanpa izin di WIUP sangat eksplisit tertuang pada Pasal 158 UU 3/2020 tentang Pertambangan MINERBA) “Setiap orang yang melakukan penambangan tanpa izin… dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan denda paling banyak Rp100 miliar.” Pendekatan hukum pidana ini sebaiknya menjadi upaya terakhir (ultimum remedium), karena musyawarah mufakat menjadi prinsip yang utama.
Oleh karena itu, mekanisme fungsi pengawasan yang sedang berjalan di DPRD melalui Pansus Pertambangan menjadi instrumen krusial untuk menjembatani perumusan usul kebijakan melalui pendalaman masalah, pengumpulan data-data historis dan tracking terhadap kebijakan legislasi yang sudah diberlakukan. Langkah DPRD ini sebetulnya tidak perlu ditaburi oleh kekhawatiran berlebihan atas ancaman konflik vertikal sebagaimana yang terjadi di Kabupaten Pohuwato pada 21 September 2023 silam. Meski ini sebatas peringatan dini (early warning), tentu solusi yang disampaikan Gubernur Gorontalo sudah sangat akomodatif terhadap kedua belah pihak meski tetap membutuhkan dukungan semua elit politik lokal untuk bagaimana meyakinkan penambang lokal agar mereka tetap mendapatkan kompensasi yang lebih adil terhadap aktivitas yang mereka sudah lakukan di WIUP. Bagaimana dengan Perusahaan pemegang IUP? tentu, jika hasil rekomendasi Pansus Pertambangan DPRD Provinsi Gorontalo mengagregasi kepentingan kedua pihak demi iklim investasi yang kondusif dan keberpihakan terhadap penambang lokal, maka Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat di daerah akan lebih mudah untuk me-remake mediasi kedua pihak, misalnya Perusahaan akan legowo untuk membuat skema kemitraan dengan penambang lokal atau skema pembagian alokasi lahan di WIUP dengan durasi waktu yang limitatif kepada penambang lokal. Pada titik ini, perusahaan tetap beroperasi legal, dan penambang lokal tidak dikriminalisasi. Barangkali probabilitas itu dapat terwujud manakala para pihak terbuka komunikasi yang intens, pro-aktif dan win-win solution.*
Peliput: Gean Bagit