TNews, KOTA GORONTALO – Kaderisasi seharusnya menjadi ruang sakral dalam proses pembentukan insan cita Himpunan Mahasiswa Islam (HMI): insan akademis, pencipta, dan pengabdi yang bernafaskan Islam. Namun, realita di lapangan sering kali tak sesuai ideal.
Dalam wawancara bersama Adnan R. Abas, Ketua HMI Komisariat Ekonomi UNG, Cabang Gorontalo, terungkap kekecewaan mendalam terhadap bagaimana ruang kaderisasi saat ini justru dimanfaatkan sebagai alat politisasi, bahkan oleh alumni-alumni HMI sendiri.
Adnan secara lugas menyatakan bahwa kaderisasi HMI kini tengah mengalami pergeseran nilai yang cukup memprihatinkan. Bagi dia, proses pembinaan yang semestinya berorientasi pada penguatan intelektual dan nilai perjuangan Islam, justru sering dibelokkan ke arah kepentingan kekuasaan dan politisasi kelompok.
“Saya kecewa ketika melihat kaderisasi yang seharusnya menjadi tempat pembentukan nilai, justru berubah menjadi alat politik praktis. Bahkan ironisnya, ini datang dari alumni yang seharusnya membimbing kami,” ujar Adnan.
Ia menambahkan bahwa campur tangan alumni sering kali tidak bersifat membina, melainkan mendorong agenda-agenda tertentu yang menyusup dalam proses pengkaderan. Hal ini menyebabkan terjadinya polarisasi kader, dan lebih buruk lagi, munculnya kader “pesanan” yang dipersiapkan untuk kepentingan tertentu, bukan untuk membawa nilai perjuangan HMI.
“Kita tidak bisa terus-menerus membiarkan kaderisasi menjadi panggung perebutan pengaruh. Apalagi jika kader yang belum matang justru digiring untuk mendukung elit alumni tertentu. Ini bukan ruh HMI yang sesungguhnya,” tegasnya.
Adnan juga menyoroti bahwa kondisi ini menciptakan kebingungan ideologis di tingkat bawah. Banyak kader baru yang kehilangan orientasi karena tidak mendapat pembinaan yang utuh dan konsisten. Alih-alih fokus pada penguatan nalar kritis, kader diseret dalam dinamika struktural dan politik internal yang tidak mereka pahami.
“Ruang kaderisasi harus dikembalikan kepada niat awalnya: membentuk insan cita. Jika tidak, maka kader HMI hanya akan menjadi alat kekuasaan, bukan pemegang nilai,” tutupnya dengan nada prihatin.*
Peliput: Gean Bagit